Kegiatan Wisata Taqwa
merupakan program tahunan yang selalu diselenggarakan oleh Madrasah serta
persetujuan dari para wali murid atau yang dikenal dengan pauyuban. Program ini
tidak pernah terlewatkan mengingat di dalam kegiatan tersebut terdapat manfaat
baik untuk lembaga madrasah dan juga siswa. Di dalam program tersebut ada
beberapa tujuan yaitu untuk memberikan pengalaman spiritual terhadap siswa ,
melatih siswa untuk mandiri, peduli terhadap sesama, memberikan
pengetahuan yang berkaitan dengan sejarah dan memberikan pembelajaran tentang
bagaimana menuliskan karya ilmiah berupa laporan perjalanan siswa. Sedangkan
untuk madrasah bermanfaat untuk menjalin kebersamaan antara siswa, guru, staf
karyawan, Kepala madrasah, komite serta paguyuban dalam membangun madrasah agar
menjadi lebih baik.
Pagi ini tanggal 13
Desember 2017 Bapak ibu guru beserta siswa-siswi MTsN 03 Blitar bersiap-siap
untuk melaksanakan kegiatan wisata taqwa. Saat bis sudah tiba, anak-anak
dipersilahkan untuk masuk dan duduk sesuai dengan tempat yang telah dientukan
oleh panitia. Sebelum berangkat guru beserta siswa berdoa bersama agar pada
perjalanan diberikan kelancaran dan keselamatan. Rute perjalanan diawali di
makam Sunan Kudus.
Letak Makam
Sunan Kudus di Desa Kauman, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa
Tengah berada persis di belakang bangunan utama limasan tumpang Masjid Menara Kudus dengan akses
tersendiri namun bisa juga lewat gapura butulan dari samping kiri masjid. Di bagian terdepan, dekat jalan,
pengunjung melewati gapura beratap genting, dan beberapa puluh langkah kemudian
ada gapura besar sebelum belok kanan. Lubang gapura atau
regol itu setidaknya bisa dilalui 3 orang, atau empat orang agak berdesakan,
namun ketika keluar pulang sempat menunggu lama karena ada banyak peziarah
masuk. Kemudian ada
regol kecil di kiri kanan regol utama sebagai akses tambahan saat puncak musim
ziarah. Namun saat ini pintu keluar dapat diakses melalui pintu belakang
makam yang menghubungkan pada sisi kanan masjid Kudus. Ada sejumlah cungkup berisikan petak kubur
di area memanjang yang lebarnya sekitar 8 meter di belakang masjid. Panjang
area ini 30 meteran, dengan pintu gapura menuju ke cungkup besar dimana Makam
Sunan Kudus berada terletak di sisi kiri, beberapa meter sebelum ujung area.
Ada beberapa kubur di area ini yang menarik perhatian.
Menelusuri sekilas
tentang sejarah Wali Sanga, Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan
yang beranggotakan 9 orang. Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan
oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari
bahasa arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah Subhaanahu wa
ta’aala karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran
agama Islam ke segala penjuru. Orang jawa mengenal istilah kiblat papat limo
pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat
disebut keblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo
pancer. Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dari peranan para
Wali.Walisongo" berarti
sembilan orang wali"
Walisongo tidak hidup pada
saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat,
bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai
peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang
menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan
Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga
Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang
dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
Dari silsilahnya Maulana
Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel.
Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan
Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain,
kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai
utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah
penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk
peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan
Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Muria
adalah pendamping sejati kaum jelata. Sedangkan Sunan Giri dan Sunan
Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri,
Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih
terasa hingga sekarang.
Sunan Kudus atau Jaffar
Shadiq Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan
Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan
Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah
seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya
bahkan lebih halus.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat
Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Sekitar jam 19.30
rombongan bis MTsN 03 Blitar telah sampai di makam auliya yaitu sunan Kudus.
Bapak Ibu guru mendampingi anak-anak untuk shalat jama’ qashar yang dilakukan
secara berjama’ah di masjid Kudus. Setelah selesai shalat mereka diarahkan
untuk masuk ke area pemakaman untuk melaksanakan kegiatan yaitu melakukan
tahlil dan doa bersama. Setelah selesai anak-anak kembali masuk bis untuk
melanjutkan perjalanan menuju makam Sunan Kalijaga. Letak makam sunan
kalijaga di desa Kadilangu Demak Jawa Tengah. Menelusuri jejak sejarah Sunan
Kalijaga atau Raden
Said. Dialah “wali” yang
namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450
Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden
Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat
bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang
pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’)
di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal
dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan
Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan
kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan
Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama
dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata).
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut
sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas,
serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu -selatan Demak.
Tidak lama perjalanan
kurang lebih setengah jam rombongan telah sampai di makam Sunan Kalijaga.
Seperti biasa anak-anak melakukan tahlil dan doa bersama. Ada yang menarik saat
rombongan memasuki area pemakaman. Terdapat makam yang mayoritas berwarna
hitam. Ya, hitam merupakan warna identik Sunan Kalijaga. Hitam menurut masyarakat
Jawa adalah warna yang melambangkan kesederhanaan. Ini sesuai dengan Sunan
Kalijaga yang merupakan putra adipati, seorang bangsawan keturunan majapahit.
Meskipun beliau putra seorang adiapti beliau tetap berpenampilan sederhana dan
sangat menyatu dengan kebudayaan jawa yang penuh dengan kesederhanaan.
Setelah selesai
pembacaan tahlil dan doa jam 11.45 WIB perjalanan dilanjutkan ke Gunung Pring. Kompleks makam Kyai Raden Santri terletak
di sisi barat kota Muntilan, tepat di atas sebuh bukit yang sangat asri. Makam
Gunung Pring secara administrasi berada di Desa Gunung Pring, Kecamatan
Muntilan, Kabupaten Magelang. Namun demikian, secara asal-usul sejarah
kepemilikian, makam kompleks makam ini merupakan milik Keraton Ngayojakarta
Hadiningrat di bawah Reh Kawedanan Hageng Sriwandowo bagian Puroloyo.
Memasuki kaki bukit sebagai akses masuk ke
kompleks makam, pengunjung akan disambut terminal parkir dengan deretan ruko
yang menjajakan berbagai peralatan ibadah maupun souvenir hasil kerajinan
masyarakat setempat. Untuk naik ke atas bukit ada dua pilihan akses jalan
berundak yang dapat dilalui, satu berada di sebelah Masjid Kyai Raden Santri
melewati sisi timur, dan satu lagi melewati Mushola Raden Santri lewat sisi
utara bukit. Gunung Pring merupakan sebuah bukit pendek yang dapat didaki dalam
waktu tidak lebih dari 20 menit.
Menapaki anak tangga yang sedikit menanjak
memang membutuhkan ekstra tenaga dan tarikan nafas. Namun sambil berjalan ke
atas, kita akan disuguhi pemandangan sekitar yang sangat eksotis. Ada dataran
kota Muntilan di sisi timur, gunung Merapi-Merbabu jauh di sebelah timur dan
timur laut. Sementara di sebelah selatan terhampar daerah pertanian yang ijo
royo-royo hingga batas pegunungan Menoreh.
Menelusuri jejak
sejarah Raden Santri, beliau putra Kyai Ageng Pemanahan yang masih
keturunan Prabu Brawijaya Majapahit. Beliau bergelar Pangeran Singasari. Namun
memakai nama samaran Raden Santri dalam usahanya menyebarkan agama Islam.Dalam
usahanya menyebarkan agama Islam, banyak kejadian-kejadian luar biasa terkait
kewaliannya untuk mengenalkan wujud kebesaran Alloh SWT. Seperti pada saat Mbah
Raden bertemu dengan peduduk sebuah dusun yang belum mengerjakan salat. Dusun
tersebut sangat tandus dan kering. Kemudian Mbah Raden mengajarkan mereka salat
pada mereka dan ketika akan mengambil air wudhu tak menemukan air. Kemudian
Mbah Raden berdoa memohon kepada Alloh untuk diberikan air, maka seketika itu
pula terjadilah mata air yang memancarkan air yang sangat jernih, kemudian
dijadikan sendang. Anehnya hingga saat ini tidak pernah kering walaupun di
musim kemarau sekalipun.
Keutamaan lain dari Mbah Raden yaitu
membangun mushalla di pinggir sungai Blongkeng untuk menangkal banjir. Ternyata
dengan adanya mushalla tersebut dusun itu menjadi aman dari banjir, bahkan
ketika terjadi banjir besar dari letusan gunung Merapi yang konon meluap sampai
kawasan Candi Borobudur. Setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600
M, Kyai Raden Santri sering menyepi untuk mujahadah di bukit Gunungpring. Saat
pulang dari Bukit Gunungpring ke dusun Santren di perjalanan melewati sungai
terjadi banjir yang sangat besar. Kemudian Mbah Raden Santri berkata, “Air
berhentilah kamu, aku akan lewat.” Maka banjir itu berhenti dan mengeras hingga
menjadi batu –batu yang cadas dan menonjol. Sampai sekarang dusun tersebut
dikenal dengan nama Watu Congol (batu yang menonjol) yang masih berada di
Muntilan, dekat dusun Gunungpring.
Sampai Gunung Pring
jam 03.00 WIB. Karena perjalanan yang melelahkan ada beberapa anak yang harus
istirahat di beberapa tempat mushalla ada yang di serambi masjid. Sedangkan
sebagian yang lain mengikuti tahlil dan doa bersama di makam Raden Santri.
Makam Raden Santri terletak di atas bukit yang biasa orang menyebut Gunung
Pring. Rombongan peziarah harus melewati tangga untuk menuju ke pemakaman.
Beberapa jam kemudian rangkaian acara ke makam para auliya telah selesai. Rute
berikutnya adalah ke Borobudur, Parangtritis dan terakhir Malioboro.
Jam 03.15 WIB semua
rombongan telah sampai dengan selamat tiada halangan apapun. Mudah-mudahan
semua dapat mengambil pelajaran dari perjalanan spiritual yang dilaksanakan
oleh MTsN 03 Blitar. Aamiin.
“Faqshushil qashasa
la’allahum yatafakkaruun“Maka Ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berfikir”. (QS. Al-A’raf: 176)
Berikut
dokumentasinya:
Kebersamaan Bapak Ibu Guru bersama siswa MTsN 03 Blitar di Prangtritis
|
Siswa-Siswi MTsN Langkapan sedang mendoakan para Auliya di makam Sunan Kalijaga
|
Siswa-Siswi MTsN Langkapan Membaca Tahlil dan Do'a Bersama
|
Kebersamaan Siswa-Siswi MTsN Langkapan di Candi Borobudur
|
Bapak Suwito dan Bapak Zaenal Mustofa bersama tim Osis Kelas 8
|
Suasana Saat Memasuki Kawasan Borobudur
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar