Sabtu, 16 Desember 2017

WISATA TAQWA KELAS 8 MTsN 03 BLITAR TAHUN 2017-2018




Kegiatan Wisata Taqwa merupakan program tahunan yang selalu diselenggarakan oleh Madrasah serta persetujuan dari para wali murid atau yang dikenal dengan pauyuban. Program ini tidak pernah terlewatkan mengingat di dalam kegiatan tersebut terdapat manfaat baik untuk lembaga madrasah dan juga siswa. Di dalam program tersebut ada beberapa tujuan yaitu untuk memberikan pengalaman spiritual terhadap siswa , melatih siswa untuk mandiri, peduli terhadap sesama,  memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan sejarah dan memberikan pembelajaran tentang bagaimana menuliskan karya ilmiah berupa laporan perjalanan siswa. Sedangkan untuk madrasah bermanfaat untuk menjalin kebersamaan antara siswa, guru, staf karyawan, Kepala madrasah, komite serta paguyuban dalam membangun madrasah agar menjadi lebih baik.

Pagi ini tanggal 13 Desember 2017 Bapak ibu guru beserta siswa-siswi MTsN 03 Blitar bersiap-siap untuk melaksanakan kegiatan wisata taqwa. Saat bis sudah tiba, anak-anak dipersilahkan untuk masuk dan duduk sesuai dengan tempat yang telah dientukan oleh panitia. Sebelum berangkat guru beserta siswa berdoa bersama agar pada perjalanan diberikan kelancaran dan keselamatan. Rute perjalanan diawali di makam Sunan Kudus.

Letak Makam Sunan Kudus di Desa Kauman, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah berada persis di belakang bangunan utama limasan tumpang Masjid Menara Kudus dengan akses tersendiri namun bisa juga lewat gapura butulan dari samping kiri masjid. Di bagian terdepan, dekat jalan, pengunjung melewati gapura beratap genting, dan beberapa puluh langkah kemudian ada gapura besar sebelum belok kanan. Lubang gapura atau regol itu setidaknya bisa dilalui 3 orang, atau empat orang agak berdesakan, namun ketika keluar pulang sempat menunggu lama karena ada banyak peziarah masuk. Kemudian ada regol kecil di kiri kanan regol utama sebagai akses tambahan saat puncak musim ziarah. Namun saat ini pintu keluar dapat diakses melalui pintu belakang makam yang menghubungkan pada sisi kanan masjid Kudus. Ada sejumlah cungkup berisikan petak kubur di area memanjang yang lebarnya sekitar 8 meter di belakang masjid. Panjang area ini 30 meteran, dengan pintu gapura menuju ke cungkup besar dimana Makam Sunan Kudus berada terletak di sisi kiri, beberapa meter sebelum ujung area. Ada beberapa kubur di area ini yang menarik perhatian.

Menelusuri sekilas tentang sejarah Wali Sanga, Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang. Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah Subhaanahu wa ta’aala karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer. Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dari peranan para Wali.Walisongo" berarti sembilan orang wali" 


Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
Dari silsilahnya Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. Sedangkan Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.

Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima PerangSunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Sekitar jam 19.30 rombongan bis MTsN 03 Blitar telah sampai di makam auliya yaitu sunan Kudus. Bapak Ibu guru mendampingi anak-anak untuk shalat jama’ qashar yang dilakukan secara berjama’ah di masjid Kudus. Setelah selesai shalat mereka diarahkan untuk masuk ke area pemakaman untuk melaksanakan kegiatan yaitu melakukan tahlil dan doa bersama. Setelah selesai anak-anak kembali masuk bis untuk melanjutkan perjalanan menuju makam Sunan Kalijaga. Letak makam sunan kalijaga di desa Kadilangu Demak Jawa Tengah. Menelusuri jejak sejarah Sunan Kalijaga atau Raden SaidDialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Tidak lama perjalanan kurang lebih setengah jam rombongan telah sampai di makam Sunan Kalijaga. Seperti biasa anak-anak melakukan tahlil dan doa bersama. Ada yang menarik saat rombongan memasuki area pemakaman. Terdapat makam yang mayoritas berwarna hitam. Ya, hitam merupakan warna identik Sunan Kalijaga. Hitam menurut masyarakat Jawa adalah warna yang melambangkan kesederhanaan. Ini sesuai dengan Sunan Kalijaga yang merupakan putra adipati, seorang bangsawan keturunan majapahit. Meskipun beliau putra seorang adiapti beliau tetap berpenampilan sederhana dan sangat menyatu dengan kebudayaan jawa yang penuh dengan kesederhanaan.

Setelah selesai pembacaan tahlil dan doa jam 11.45 WIB perjalanan dilanjutkan ke Gunung Pring. Kompleks makam Kyai Raden Santri terletak di sisi barat kota Muntilan, tepat di atas sebuh bukit yang sangat asri. Makam Gunung Pring secara administrasi berada di Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Namun demikian, secara asal-usul sejarah kepemilikian, makam kompleks makam ini merupakan milik Keraton Ngayojakarta Hadiningrat di bawah Reh Kawedanan Hageng Sriwandowo bagian Puroloyo.

Memasuki kaki bukit sebagai akses masuk ke kompleks makam, pengunjung akan disambut terminal parkir dengan deretan ruko yang menjajakan berbagai peralatan ibadah maupun souvenir hasil kerajinan masyarakat setempat. Untuk naik ke atas bukit ada dua pilihan akses jalan berundak yang dapat dilalui, satu berada di sebelah Masjid Kyai Raden Santri melewati sisi timur, dan satu lagi melewati Mushola Raden Santri lewat sisi utara bukit. Gunung Pring merupakan sebuah bukit pendek yang dapat didaki dalam waktu tidak lebih dari 20 menit.
Menapaki anak tangga yang sedikit menanjak memang membutuhkan ekstra tenaga dan tarikan nafas. Namun sambil berjalan ke atas, kita akan disuguhi pemandangan sekitar yang sangat eksotis. Ada dataran kota Muntilan di sisi timur, gunung Merapi-Merbabu jauh di sebelah timur dan timur laut. Sementara di sebelah selatan terhampar daerah pertanian yang ijo royo-royo hingga batas pegunungan Menoreh.
Menelusuri jejak sejarah Raden Santri, beliau putra Kyai Ageng Pemanahan yang masih keturunan Prabu Brawijaya Majapahit. Beliau bergelar Pangeran Singasari. Namun memakai nama samaran Raden Santri dalam usahanya menyebarkan agama Islam.Dalam usahanya menyebarkan agama Islam, banyak kejadian-kejadian luar biasa terkait kewaliannya untuk mengenalkan wujud kebesaran Alloh SWT. Seperti pada saat Mbah Raden bertemu dengan peduduk sebuah dusun yang belum mengerjakan salat. Dusun tersebut sangat tandus dan kering. Kemudian Mbah Raden mengajarkan mereka salat pada mereka dan ketika akan mengambil air wudhu tak menemukan air. Kemudian Mbah Raden berdoa memohon kepada Alloh untuk diberikan air, maka seketika itu pula terjadilah mata air yang memancarkan air yang sangat jernih, kemudian dijadikan sendang. Anehnya hingga saat ini tidak pernah kering walaupun di musim kemarau sekalipun.

Keutamaan lain dari Mbah Raden yaitu membangun mushalla di pinggir sungai Blongkeng untuk menangkal banjir. Ternyata dengan adanya mushalla tersebut dusun itu menjadi aman dari banjir, bahkan ketika terjadi banjir besar dari letusan gunung Merapi yang konon meluap sampai kawasan Candi Borobudur. Setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600 M, Kyai Raden Santri sering menyepi untuk mujahadah di bukit Gunungpring. Saat pulang dari Bukit Gunungpring ke dusun Santren di perjalanan melewati sungai terjadi banjir yang sangat besar. Kemudian Mbah Raden Santri berkata, “Air berhentilah kamu, aku akan lewat.” Maka banjir itu berhenti dan mengeras hingga menjadi batu –batu yang cadas dan menonjol. Sampai sekarang dusun tersebut dikenal dengan nama Watu Congol (batu yang menonjol) yang masih berada di Muntilan, dekat dusun Gunungpring.

Sampai Gunung Pring jam 03.00 WIB. Karena perjalanan yang melelahkan ada beberapa anak yang harus istirahat di beberapa tempat mushalla ada yang di serambi masjid. Sedangkan sebagian yang lain mengikuti tahlil dan doa bersama di makam Raden Santri. Makam Raden Santri terletak di atas bukit yang biasa orang menyebut Gunung Pring. Rombongan peziarah harus melewati tangga untuk menuju ke pemakaman. Beberapa jam kemudian rangkaian acara ke makam para auliya telah selesai. Rute berikutnya adalah ke Borobudur, Parangtritis dan terakhir Malioboro.

Jam 03.15 WIB semua rombongan telah sampai dengan selamat tiada halangan apapun. Mudah-mudahan semua dapat mengambil pelajaran dari perjalanan spiritual yang dilaksanakan oleh MTsN 03 Blitar. Aamiin.

“Faqshushil qashasa la’allahum yatafakkaruun“Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”. (QS. Al-A’raf: 176)
Berikut dokumentasinya:

Kebersamaan Bapak Ibu Guru bersama siswa MTsN 03 Blitar di Prangtritis
Siswa-Siswi MTsN Langkapan sedang mendoakan para Auliya di makam Sunan Kalijaga
Siswa-Siswi MTsN Langkapan Membaca Tahlil dan Do'a Bersama
Kebersamaan Siswa-Siswi MTsN Langkapan di Candi Borobudur
Bapak Suwito dan Bapak Zaenal Mustofa bersama tim Osis Kelas 8
Suasana Saat Memasuki Kawasan Borobudur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGUMUMAN SOSIALISASI MATSAMA (MASA TA'ARUF SISWA MADRASAH) MTsN 3 BLITAR TAHUN 2023

Penting! Assalamualaikum Wr. Wb. Mohon kehadiran seluruh peserta didik baru MTsN 3 Blitar  pada, Hari, tanggal : Selasa, 04 Juli 2023 Waktu ...